Taufik lahir bukan dari keluarga atlet. Aris Haris, sang ayah, juga bukan penikmat dan penggila olahraga. Kedua orangtua pebulutangkis asal Klub Sangkuriang ini hanyalah petani sayur-mayur yang biasa berkutat dengan lahan garapan.
Entah karena bisikan gaib atau karena antipati pada sepak bola, Aris Haris dan Enok Dartilah, sang ibu, membelokkan minat si kecil Taufik Hidayat dari sepak bola ke bulutangkis. Itu terjadi saat tunangan Deswita Maharani ini berusia sekitar 7-8 tahun.
Aris Haris dan Enok Dartilah meyakini warna sepak bola Indonesia masih berwajah buram. Olahraga ini bukanlah olahraga menjanjikan. Kadang sepak bola juga sering diwarnai keributan. "Sepak bola memang banyak digemari. Tetapi untuk mengejar prestasi sebaiknya saya milih bulutangkis karena sudah mendunia. Ini adalah saran Papa," kata Taufik.
Saran Aris Haris rupanya mendapat sambutan bagus dari sang anak. Taufik pun akhirnya masuk klub pimpinan Lutfi Hamid, Sangkuriang Graha Sarana (SGS) Bandung. Adalah si eksentrik legendaris I'ie Sumirat yang mulai melihat bakat Taufik. Pemain era 1970-an yakin kalau dibina secara benar anak didiknya tersebut akan menjadi pemain andal. Taufik yang bagaikan intan terpendam pun mulai diasah menjadi permata bernilai tinggi.
Taufik kecil pun rela menempuh perjalanan sejauh 80 Km dari Pengalengan ke Bandung pulang-pergi. Dia berlatih usai pulang sekolah. Latihan berlangsung hingga pukul 20.00 WIB.
"Kalau belajar pada malam hari kadang saya terkantuk-kantuk. Malah sering pula ketiduran. Memang kondisinya sudah sangat capai,"' tutur dia.
Satu hal yang membuatnya Taufik bisa seperti saat ini adalah karena disiplinnya yang tinggi. Aris Haris menerapkan ini pada anak kandungnya tersebut. Setiap permintaan Taufik kecil harus dibarter dengan main skipping dan dambel. Nyatanya semua itu berbuah bagus untuk Taufik. Gerakan kakinya makin lincah. Pergelangan tangannya juga makin kuat. ( sumber SUARA MERDEKA)
Kisah Hilangnya Mahkota Daun Zaitun Milik Taufik Hidayat
Ceriteranya begini. Olimpiade Athena 2004 ini memang berbeda dengan olimpiade-olimpiade sebelumnya. Selain mengulang tempat penyelenggaraan 108 tahun lalu, banyak hal yang lalu dimirip-miripkan dengan Olimpiade Athena 1896 itu.
Hal yang dimiripkan pertama adalah dipakainya Stadion Panathinaikos sebagai salah satu tempat pertandingan, yaitu panahan. Stadion Panathinaikos ini adalah tempat penyelenggaraan olimpiade modern pertama tahun 1896 itu.
Hal kedua adalah ikon-ikon yang dipakai pada nomor cabang juga dimiripkan dengan ikon-ikon kuno Yunani, yaitu dengan warna dasar oranye plus siluet atlet berwarna hitam. Dan, yang paling mirip dengan penyelenggaraan Olimpiade 1896, bahkan juga persis dengan olimpiade purba, adalah pemahkotaan pemenang dengan daun zaitun. Maka, walau cuma daun zaitun, maknanya besar sekali.
TAUFIK masih mengenakan mahkota daun itu saat diboyong ke ruang jumpa pers. Sepanjang jalan puluhan kali ia harus berhenti melayani orang-orang yang mengajak berfoto.
Kompas juga masih menyaksikan, dalam acara tanya jawab, mahkota itu terletak di dekat tangan kanan Taufik. Namun, apa daya, dalam perjalanan kembali ke kampung atlet, Taufik lupa membawa mahkota itu. Ia yakin tertinggal di ruang jumpa pers. "Saya yakin tertinggal di sana," katanya.
Lupanya Taufik bisa dimaklumi. Bukannya ia sudah pikun, bukan. Namun, begitu selesai acara tanya jawab, ia sudah dicecar untuk difoto dengan berbagai pose dan selesai berfoto ia ditarik dan dikawal petugas untuk langsung kembali ke bus yang mengantarnya ke kampung atlet.
Taufik pasti tidak sempat kembali ke meja jumpa pers. Dan orang Indonesia yang hadir di ruangan itu pasti juga tidak terlalu ngeh akan hal itu. Kok bisa hilang? Terang saja. Mahkota Taufik pasti disambar siapa pun yang melihatnya. Barang apa pun yang berbau Olimpiade Athena laris manis. Begitu pertandingan bulu tangkis selesai, poster-poster yang menempel di gedung jadi rebutan gadis-gadis yang jadi petugas di sana. Juga di lapangan tenis.
Kalau poster yang agak kusut saja jadi rebutan, apalagi mahkota Taufik?
TAUFIK masih tampak sedih atas kehilangan mahkota itu sampai Minggu (22/8) atau sehari setelah kemenangannya. Oleh Humas KONI, Linda Wahyudi, Taufik lalu diajak cari penggantinya. Dan, Taufik semula menolak karena menurut dia apalah arti pengganti karena pasti hanya sekadar daun biasa.
Setelah dibujuk beberapa kali, akhirnya Taufik mau juga diajak berjalan-jalan ke daerah Plaka, tempat toko-toko suvenir berada. Ikut pula dalam perjalanan itu beberapa pemain bulu tangkis lain.
Di daerah Plaka tiruan mahkota daun itu memang banyak dijual. Yang buatannya sebagus untuk pemenang Olimpiade harganya 10 euro (sekitar Rp 110.000). Sementara yang lebih jelek sekitar 3 sampai 5 euro.
Taufik sama sekali tidak melirik tiruan-tiruan itu. Sampai saat ia masuk ke sebuah toko souvenir, ia melihat tiruan mahkota daun yang dilapis emas.
"Beli itu aja sekalian Fik. Suvenir, sekalian, keren pula," bujuk Linda Wahyudi. Dan Taufik setuju. Namun, harga mahkota lapis emas itu bukan main, 160 euro atau sekitar Rp 1,7 juta. Pahlawan Olimpiade 2004 Indonesia ini sempat ragu.
Namun, kejutan terjadi. Anak sang pemilik toko mengenali Taufik sebagai peraih medali emas bulu tangkis tunggal putra. Dan gegerlah seisi toko.
Foto sana foto sini kembali terjadi. Sang pemilik toko yang merasa mendapat kehormatan dikunjungi sang juara menurunkan harga mahkota emas itu dengan drastis. Jadilah Taufik cukup membayar 100 euro. Flandy Limpele yang ikut dalam rombongan rupanya tertarik juga. Namun, ia tidaklah membeli yang berlapis emas seperti Taufik. Flandy membeli yang dilapisi tembaga. "Yah, aku kan medali perunggu," katanya, sambil tertawa.
Akhirnya senyum Taufik kembali. Ia sudah mendapatkan penggantinya. Namun, saat dijumpai di bandara menjelang pulang, ia hanya tersenyum saat ditanyai soal mahkota pengganti itu. "Disimpan saja. Takut hilang lagi," katanya. (Arbain Rambey, dari Athena) ( SUMBER KOMPAS)
http://lelaki.blogdrive.com/archive/o-50.html
Bahkan seorang perempuan bernama Fanny mengaku telah melahirkan anak dari hubungannya dengan Taufik saat masih sekolah dahulu. Bayi yang diperkirakan hubungan mereka berdua itu diberi nama Excel Revian Agachie.
Biografi
Taufik Hidayat populer sebagai seorang atlet bulutangkis Indonesia yang berhasil memboyong sejumlah piala kaliber dunia. Pada Olimpiade Athena 2004, dirinya berhasil meraih medali emas dengan mengalahkan Seung Mo Shon dari Korea Selatan.
Selain itu, pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 1981 ini juga menyandang gelar juara tunggal putra Asian Games (2002, 2006). Enam kali menjuarai Indonesia Terbuka yaitu tahun 1999, 2000, 2002, 2003, 2004 dan 2006. Ditabah lagi menjurai Piala Thomas (2000, 2002, 2004 dan 2006) serta Piala Sudirman (1999, 2001, 2003 dan 2005).
Pada sisi selebritisnya, ayah dari Natarina Alika Hidayat ini saat muda dikenal sebagai pria playboy yang kerap berganti pacar. Sebut saja artis Nola AB Theere, Deswita Maharani, Linda Rahman dan sebelum kemudian menikah dengan Army Dianti Gumelar, putri mantan menteri perhubungan dan ketua KONI, Agum Gumelar.
Selain itu, pria kelahiran Bandung, Jawa Barat, 10 Agustus 1981 ini juga menyandang gelar juara tunggal putra Asian Games (2002, 2006). Enam kali menjuarai Indonesia Terbuka yaitu tahun 1999, 2000, 2002, 2003, 2004 dan 2006. Ditabah lagi menjurai Piala Thomas (2000, 2002, 2004 dan 2006) serta Piala Sudirman (1999, 2001, 2003 dan 2005).
Pada sisi selebritisnya, ayah dari Natarina Alika Hidayat ini saat muda dikenal sebagai pria playboy yang kerap berganti pacar. Sebut saja artis Nola AB Theere, Deswita Maharani, Linda Rahman dan sebelum kemudian menikah dengan Army Dianti Gumelar, putri mantan menteri perhubungan dan ketua KONI, Agum Gumelar.
Bahkan seorang perempuan bernama Fanny mengaku telah melahirkan anak dari hubungannya dengan Taufik saat masih sekolah dahulu. Bayi yang diperkirakan hubungan mereka berdua itu diberi nama Excel Revian Agachie.
Komentar
Posting Komentar