"sebentar ya
pak saya cari dulu", dengan wajah agak panik aku terus mengodok kantong
celana dan tempat-tempat di tasku. Ya Allah bagaimana ini, ku hubungi kakak dan
bapak karena tidak tahu lagi harus bagaimana,
"memang
uangnya kurang berapa dek?", bertanya mas-mas yang berdiri di sebelahku
"uang saya
ketinggalan, saya tidak bawa uang", dengan wajah melas aku berusaha tetap
tersenyum.
akhirnya ku tarik
napas panjang, memberanikan diri berkata kepada abang kenek, "pak, maaf
uang saya ketinggalan, saya tidak bawa uang, bagaimana?"
"yah, mau
bagaimana, nanti neng lanjut ke kampusnya gimana?" jawab beliau
agak heran dengan
jawabannya kemudian saya jawab "nanti saya minta jemput teman"
"oh
yasudah," tersenyum kecil, kembali ke dekat pintu paling belakang
-------------------------------
"siap-siap
yang turun rawamangun,, rawamangun,, utan kayu,," sahut abang kenek bis
kowan.
setelah berhasil
keluar, saya meminta lagi kepada abang kenek, "pak mohon maaf ya, besok
saya ganti insyaAllah. Besok bapak narik pas jam seperti tadi kan?"
"iya neng
iya," jawabnya singkat
"maaf ya pak
sekali lagi, terimakasih" ucapku sambil berlari kecil meninggalkan bis
kowan.
===========================================================================
kejadian ini
terjadi Selasa pagi tanggal 11 Desember. Awalnya mungkin hanya malu yang aku
tau, tapi akhirnya aku menyimpulkan banyak pelajaran dari pagi itu. Keteledoran
bisa membuat petaka. Andai saja aku lebih apik dalam menyimpan uang. Tapi
beruntungnya aku, bukan sebel, amarah atau caci yang kudapat. Aku seribu persen
yakin, abang kenek bersikap seperti itu selain karena kasihan, itu juga karena
keterbiasaan melihat aku naik bisnya. Ketika di SMA, setiap hari aku harus naik
ojeg setelah turun angkot. Guruku berpesan untuk tidak lupa mengucapkan
terimakasih kepada tukang ojeg meskipun kita tetap membayar atas jasanya.
Semenjak itu, kebiasaan mengucapkan terimakasih
selalu aku lakukan ketika naik ojeg, bayar angkot terutama pas uangnya
kembalian, dan membayar bis.
Percayakah kalian,
baru setahun lebih aku menjadi penumpang langganan bis kowanbisata, tapi sudah
beberapa kali aku tidak diijinkan membayar ongkos sama abang kenek, yah
walaupun hanya beberapa abang keneknya yang memang masih muda juga (antara baik
atau genit ya nih abang-abang) tapi dalam pikiranku, pada uang jajanku memang
sudah ternominalkan beberapa untuk naik bis kowan, jadi aku juga selalu menolak
dan memaksa abangnya menerimanya (bahkan pernah sampai diliatin kakak kelas
UNJ).
Sekarang akupun
beranggapan, bergaul atau sekedar saling kenal dengan orang-orang yang selalu
berkontribusi dalam aktivitas keseharian kita itu sangat diperlukan. Namun ada
beberapa batasan mengingat aku ini kan remaja perempuan, jadi sebatas ngobrol
antara abang kenek dan penumpang langganan bisnya. Bahkan, kakak alumni ED, mba
Woro pun bilang dia juga pernah beberapa kali ajak ngobrol abang kowan, tapi
belum pernah diminta tidak usah bayar ongkos. Entah keberuntungan apa yang
sedang memihak padaku. Tapi kewajiban sebagai penumpang memang bayar ongkos
kan? dan janji untuk membayar ongkos harus ditepati. Karena janji dibawa sampai
mati.
Komentar
Posting Komentar