Memasuki usia 20-an, banyak sekali topik-topik serius yang
dibahas bersama teman-teman sepantaran seperti halnya pekerjaan dan pernikahan,
walaupun kenyataannya kami semua masih berusaha lulus, tapi dengan beberapa
kawan lama yang sudah lulus terlebih dahulu, dua topik ini selalu menjadi topik
wajib untuk dibahas setiap kali kami meet-up.
Pada hakekatnya, kami sekolah tinggi untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik. Sekarang kami sudah mendekati ujung garis sekolah
tinggi kami dan kerisauan mengenai ‘apa yang nanti akan aku lakukan?’ mulai
mengusik pikiran kami sehari-hari. Aku sendiri masih belum yakin ingin kemana
setelah lulus, ingin melamar menjadi guru kah, karyawan kah, atau memulai
sendiri peluang membangun usaha mandiri, aku masih abu-abu. Terlebih keadaan
ekonomi sekarang yang semakin sulit sepertinya benar-benar tidak menempatkanku
di posisi di mana aku bisa memilih (untuk bekerja dimana). Setiap tahunnya
setidaknya ada puluhan ribu sarjana lahir di pulau Jawa yang saling
berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan. Beginilah hidup, selalu tentang
kompetisi.
Ketika persoalan pekerjaan bisa diatasi meskipun mungkin
tidak sesuai espektasi, gelisah mengenai pendamping hidup akan sangat menonjol.
Bagaimana mungkin tidak gelisah jika dari sekarang saja sudah dicecar dengan
pertanyaan “mana pacarnya?”, walaupun sudah jadi rahasia umum kalau yang
namanya pacar belum tentu sukses menjadi pendamping hidup. Dan dalam agama yang
aku anut, tidak ada yang namanya pacaran. Oke tahan dulu, tolong jangan anggap
aku orang yang sok alim tapi biar kujelaskan lagi sebenarnya berada di mana
posisiku melihat ini semua.
Aku muslim yang sangat dangkal ilmu agamanya. Tidak pernah
merasakan pesantren, ngaji pun hanya sampai tingkat SD. Masih suka pakai celana
jeans, baju tangan 3/4 dan flat shoes
tanpa kaos kaki. Kerudung yang kupakai pun kerudung biasa tidak syar’i. inilah
aku. Aku bukan anggota dari kajian manapun, tapi paling tidak aku beberapa kali
pernah ikut kajian yang diadakan di kampus. Aku tidak berpartisipasi dalam
kampanye One Day One Juz, tapi
setidaknya aku usahakan membaca alqur’an setiap hari jika sedang tidak halangan.
Aku tidak paham mengenai wahabi, syiah, salafi, atau yang lainnya, yang sedang
kupelajari adalah bagaimana muslim seharusnya. Dan aku masih belajar.
Aku hanyalah manusia biasa. Di usia yang sudah bisa dikatakan
dewasa pastinya aku punya rasa tertarik pada lawan jenis, bahkan sejak aku
duduk di SMP dan aku yakin itu hanyalah cinta monyet. Di SMA pun begitu,
lucunya aku pasti tertarik pada orang yang biasa aja penampilannya tapi bisa
berbagi banyak pengetahuan denganku terlebih pengetahuan tentang agama. Kita
ini emang udah teman baik sejak kelas X SMA, dan ketika kelas XII banyak sekali
kenangan sama dia yang sebenarnya biasa – biasa aja tapi yang biasa itu yang
menjadi indah untuk dikenang. Tapi yang terjadi denganku, seberapa besar aku
tertarik pada seseorang, tak pernah terpikirkan olehku untuk bisa berpacaran
dengannya, sehingga memang tidak pernah ada usaha PDKT yang dilakukan olehku.
Tapi perasaan tergoda untuk ingin mencoba pacaran datang ketika aku menjadi
mahasiswa. Ketika pertengan masa kuliahku, ketika aku sedang jenuh-jenuhnya
dengan belajar dan merasa sangat berat (beban yang kurasakan), saat itu aku
berpikir betapa menyenangkannya jika mempunyai bahu lain untuk bersandar. Tentu
saja itu hanya imajinasi ku saja.
Aku sering berimajinasi mempunyai hubungan asmara dengan
seorang laki-laki dan hanya ada satu laki-laki saja yang aku bayangkan. Tentu saja dia adalah seseorang yang ku suka, sangat
sangat sangat suka. Di setiap khayalanku, aku menyebutnya dengan nama Kiki,
JoongKi, Rafi atau siapa saja karena aku memang tidak tahu siapa nama dia
sebenarnya. Inilah untuk pertama kalinya aku suka pada seseorang dengan sangat
sangat sangat suka meski tanpa tahu namanya. Menyedihkan memang. Aku tidak
pernah membayangkan aku dengan laki-laki lainnya, aku pun tidak mengerti
sebegini sukanya kah aku dengan orang itu sampai-sampai hanya dia yang mampu
aku bayangkan sebagai kekasihku. Imajinasi ku ini memang terlalu liar, aku
takut menjadi gila karenanya.
Tapi karena aku tidak mengenalnya (secara identitas), aku
sedikit tahu bagaimana dia karena sering bertemu, sering bersama. Kami kuliah
di Kampus yang sama, naik bis yang sama dan sering solat ashar di tempat yang
sama. Kami pun pernah secara tidak sengaja solat maghrib bersama di SPBU
Rawamangun, duduk berdampingan di bis ketika pulang dan terjebak hujan bersama
ketika sedang menunggu bis. Setidaknya aku cukup tahu seperti apa dia. Dia
tinggi, putih, bersih, agak kurus, sopan, tidak banyak bicara dan apik. Aku
sangat hafal dengan sepatu converse-nya, tas gembloknya, sweater hoodienya dan
kemeja biru yang sering dia pakai. Tapi aku masih menyimpan seribu pertanyaan
mengenai dirinya. Sampai akhirnya sekarang kami sudah tidak pernah bertemu
karena sepertinya dia sudah lulus, aku masih belum bisa menyudahi rasa
penasaranku tentang dirinya. Entah apa saja yang aku lakukan selama 3 tahun
menyukai dirinya sampai nama pun aku tidak bisa mendapatkannya. Dia sungguh rahasia
Tuhan bagiku.
Sampai aku tiba di usia di mana aku harus siap berumah
tangga, aku akan menerima siapapun itu jodohku. Untuk saat ini, biarkan aku
berimajinasi dengan dia yang ku suka. Sampai aku lelah dengan kenyataan jika
dia memang bukan orangnya.
Komentar
Posting Komentar